Sunday, September 4, 2016

Allah Selalu Punya Cara dan Alasan Terbaik


Tiba-tiba ingat quote "cinta di umur 25 tahun sudah bukanlah cinta yang diumbar-umbar", kurang lebih begitu lah isinya.

Setelah pertemuan dengan beberapa orang yang silih berganti memberikan pelajaran terbaik dari setiap perpisahannya, saya akhirnya paham cinta yang sejatinya untuk kita adalah dia yang bertahan dan selalu ada untuk kita pada akhirnya.

Dengan amat menyesal saya akui saya pernah marah sama Allah di dalam doa saya (naudzubillahimindzalik semoga tidak akan pernah terulang kembali) ketika saya dipisahkan dengan seseorang yang pernah saya anggap sempurna. Baik tutur kata (yang saya hadapi selama ini), baik tingkah laku, baik rupa, dan baik pula kecerdasannya.

Sekitar 2 sampai 3 tahun saya menyendiri, mengenal orang lain yang juga baik namun ternyata dia juga hanya datang lalu pergi. Lantas, selama saya menyendiri banyak yang saya pelajari dan memberikan pelajaran untuk diri saya.

Teman baik yang sudah menjalani hubungan dengan kekasihnya selama 7 tahun ternyata menikah dengan orang yang bukan kekasihnya, itu pun tanpa proses pacaran seperti pacaran pada umumnya. Ada lagi kawan yang sangat baik hatinya, dia juga pernah merasa sulit untuk membuka hati dalam waktu yang cukup lama ternyata tinggal hitungan hari akan melangsungkan pernikahan.

Dari beberapa kisah itu saya belajar kalau Allah menghadirkan jodoh di waktu yang tepat menurut-Nya. Dan di situ pula waktu penantian itu digunakan untuk memperbaiki diri sebaik-baiknya.

Di saat saya sudah cukup lama berkutat dengan kebingungan dan meraba apa alasan Allah memisahkan saya dengan seseorang yang saya anggap sempurna. Allah akhirnya membuka semua yang mungkin hati dan akal logika saya tak akan mampu untuk mengetahui alasannya (tidak bisa disebutkan, intinya semua yang saya anggap sempurna adalah permukaan luar) di awal perpisahan itu.

Setelah saya tahu kebenarannya, di situ saya bersujud mohon ampun dan sangat berterima kasih kepada Allah, meskipun rencana serius itu gagal, itu adalah jalan terbaik dan saya akui sangat baik untuk saya.

Singkat cerita, dari setiap kejadian saya belajar kalau Allah ternyata menghadirkan seseorang untuk memberikan hikmahnya tersendiri. Dia bisa saja tiba-tiba mendatangkan orang lain lagi di saat kekosongan melanda.

Dia datangkan yang jauh menjadi dekat, Dia datangkan kemungkinan pada kemustahilan, Dia datangkan rencana pada setiap kepasrahan. Dan saya ingin jadi manusia yang bisa belajar, meski Allah nantinya akan hadirkan seseorang yang baru tapi di situ saya membuat keputusan untuk tidak menjatuhkan hati sepenuhnya kepada seseorang yang datang tanpa mengkhitbah. Bukalah hati untuk orang lain, karena kemungkinan itu selalu ada. Jangan menutup satu pintu karena kita tidak pernah tahu kapan Dia datangkan jodoh terbaik untuk kita.

Selama menunggu waktu yang tepat dari Allah, ingatlah kita tidak pernah merasa kosong karena Allah selalu bersama kita. Perbaiki diri, pantaskan diri karena:

"Laki-laki yang baik diperuntukkan untuk wanita baik; begitu pun wanita baik-baik hanya untuk laki-laki baik."

Bila kita tidak dibersamakan dengan seseorang berarti seseorang itu tidak baik untuk kita atau mungkin kita yang tidak cukup baik untuk mendampingi seseorang itu.

Bersyukur dan alhamdulillah bila selama ini bisa menjaga diri dari kemaksiatan pacaran yang menggunakan nafsu semata (meskipun tidak sesempurna yang seharusnya) yang pastinya mengundang zina, bagi yang belum maka jauhkan secepatnya. Biar tunggu saja Allah yang pastikan dengan siapa kita bersanding. 😇

Depok, 4 September 2016; 20.35 WIB.
Silvia Ratna Juwita

Thursday, August 27, 2015

Aku Mencintaimu dengan Kepasrahan

Air mata terlalu mudah bergulir di pipi bila mengingat ketakutanku menikmati setiap canda dan tawa yang kualami sendiri semenjak mengenalmu tanpa tatapan. Bukan tak mempercayai dirimu, tapi aku tak yakin diriku mampu membuatmu merasakan apa yang kurasakan. Dalam foto dirimu aku yakin semua orang tahu, senyum lebarmu adalah pancaran kebaikan hatimu. Tapi aku tetap tak yakin bisa menikmati kebaikan yang kumau darimu untukku sendiri. Senyummu hadir saat aku sedang larut menikmati cinta yang jatuh dan untuk yang kesekian kalinya hatiku terjatuh retak. Namun, ragamu saja tak pernah kutahu wujudnya hingga akhirnya kuhadirkan perantara dirimu menghadap Sang Pencipta dengan harapan agar selalu ingat akan aku.
Dia menciptakan waktu untuk membiarkan mataku menyaksikan senyum di balik kusutnya pikiranmu. Berbagi sekilas tentang kesibukanmu, aku lupa kalau hatiku pernah retak, tetapi aku ingat bahwa hatimu pun sedang terpaut pada merpati. Hatimu masih terbang bersama merpati dan aku sadar aku hanya hati retak yang mulai mengobati lukanya sendiri dengan canda bersama tawamu.
Waktu akan selalu menjadi milik-Nya. Terpisah dari hadapanmu adalah takdir yang harus kujalani, Dia hanya sedang memberiku pelajaran bahwa hati yang retak masih bisa terobati dengan hati yang baru. Hanya saja aku tak pernah tahu ketetapan-Nya tentang aku dan dirimu, yang aku tahu hanya bila sekali lagi hatiku terjatuh entah apa yang akan terjadi.
Maka itu, kusimpan semua perasaanku sendiri, biar saja hanya kubagi dengan-Nya tanpa perlu mata hatimu mengetahui. Karena bila senyummu masih mengembang, jangan salahkan aku yang akan menaruh harapan dari hatimu. Kali ini Dia yang kuberi kuasa seutuhnya untuk mengatur setiap aliran hidupku, mulai dari perasaanku hingga pertemuan denganmu selanjutnya. Aku cukup tahu diri pada dunia mana kau berpijak. Dan tak akan setitik usaha yang kulakukan untuk meniti mimpi hidup bersamamu, karena aku paham aku bukan malaikat seperti mereka yang ada di sekitarmu.
Salam untukmu, dariku yang memasrahkan semua hanya kepada-Nya. Tunggu kiriman hati yang pernah terluka dan penuh harapan dariku bila memang Dia mengalamatkannya padamu. Karena bila Dia menakdirkan dirimu untukku tak akan pernah pergi meskipun aku berlari menjauh darimu.
(Silvia Ratna Juwita, 27 Agustus 2015; 00.42 wib)

Tuesday, November 11, 2014

Sedikit Cerita di Gunung Papandayan

<a href="http://uin-community.us/wp-content/uploads/2014/11/PB090671.jpg"><img src="http://uin-community.us/wp-content/uploads/2014/11/PB090671-300x168.jpg" alt="OLYMPUS DIGITAL CAMERA" width="300" height="168" class="alignnone size-medium wp-image-9654" /></a>

Naik gunung? Duh ga pernah kebayang di otak gue buat naik gunung mana pun, meskipun gue udah nonton film <em>5cm. Tapi pas diajak temen, anak Fisika FST semester 7, buat naik Gunung Papandayan, dalam hati gue kaya menggebu pengen tapi keinginan gue itu masih tertahan sama yang namanya mikir, jadi ada kali sekitar 2 minggu lebih mungkin sebulan malah setelah pengajakan itu gue sampai ke tahap 'mau' dan ngajak temen lain buat ikutan.

Semakin mendekati hari H, makin serius gue, pinjem tas, sleeping bag, matras, apapun lah yang gue ga punya sama temen gue anak FEB semester 9 sepertinya, ya kayanya sih ga punya semua, maklum pertama kali naik gunung.

Beruntungnya, meskipun udah 2 tahun lulus, masih punya banyak teman di UIN Jakarta ini. Kalau ke kampus masih bisa lah dianggap anak semester 5. Ulalalala ~

Hari H, 7 November 2014. Gue berangkat bersama rombongan dari pool Primajasa di daerah mana namanya ya, pokoknya ke arah Pamulang setelah Tiptop itu. Yang awalnya niat berangkat setelah maghrib, jadi berangkat jam 8 malam lewat lah ya. Terus sampai ke Alun-Alun Garut itu sekitar jam 2 pagi, oh gue ga nyangka selama itu perjalanan gue, mana batuk batuk mulu, kurang tidur gegara 3 hari sebelumnya ngurusin seminar jurusan sampai larut malam juga.

Sampai Alun-Alun kita nungguin mobil yang ngangkut tas rombongan beserta orang orangnya, itu rombongan jadi terkesan kaya sekampung mau pindah kampung, banyak banget ada 45 orang mungkin.

Perjalanan sepertinya direstui Yang Maha Kuasa, buktinya kita berhenti sebentar di Pom Bensin, bisa buat solat Isya dulu baru lanjut ke kaki gunung. Sampai ke pos kaki Gunung Papandayan, kita istirahat, subuh, makan, tanpa tidur di sana. Ga paham lagi sih, ngomong aja keluar asap ngebul dari mulut.

Perjalanan dimulai sekitar jam 5.30an lah ya. 10 meter kali baru mulai jalan, gue merasa ditipu sama temen gue yang ngajak, dia bilang jalannya gampang, landai, de el el sebagainya. Salah gue juga sih terlalu percaya dan kemakan film 5cm, yang kayanya naik gunung tuh gampang banget. Di otak gue mikir "bisa ga sih gue muter arah balik lagi ke rumah" bahahaha fine, cemen banget emang gue.

Ngas ngos ngas ngos... Istirahat berkali kali, yang bikin gue semangat pas gue istirahat itu difoto, dan hasil fotonya itu, bagus sekali. Gue kaya ada di background bohongan kaya sinetron kolosal gitu. Banyak asap asap, tebing, keren pokoknya. Yaudah semangat lah naik, meskipun endingnya ngas ngos lagi hahaha maklum lah pemula.

Yah mungkin sekitar 2,5 jam lah ya kita sampai di Pondok Saladah, tempat nge-camp gitu. Istirahat bentar, eh lama sih lumayan. Bangun tenda, tepatnya ngelihatin anak laki bangun tenda, masak, kalau masak beneran gue masak kok. Beruntunglah gue masih punya kegunaan buat temen-temen. Hihihi

Ngisi perut selesai, temen gue keren persiapannya nyiapin flying sit, kaya ayunan gitu lah, ada kali 2 jam gue tidur berayun di situ. Mantap, bangun bangun menggigil, padahal itu jam 1 siang. Tergopoh-gopoh gue ke tenda, ngambil jaket super tebelnya gue. Terus wudhu, ya Allah, rasanya lo ga perlu ikut yang namanya Ice bucket challange. Berasa banget disiram air esnya. Tapi yang super ketika gue solat tanpa jaket, cuma pakai mukenah tipis yang gue bawa, gue berasa banget hangat. Makanya ga gue lepas lepas tuh mukenah.

Berhubung rombongan itu super duper banyak, gue memisahkan diri bersama kelima teman gue dari kampus gue yang sekarang, UNJ. Karena klik aja, berasa adek kaka sepupuan sodaraan kaya lagi main bareng. 3 cewe pemula dan 3 cowo yang alhamdulillah sudah beberapa kali mendaki, mungkin banyak kali, tapi 3 cowo ini tetap low profile.
<a href="http://uin-community.us/wp-content/uploads/2014/11/PhotoGrid_1415511793266.jpg"><img src="http://uin-community.us/wp-content/uploads/2014/11/PhotoGrid_1415511793266-300x168.jpg" alt="PhotoGrid_1415511793266" width="300" height="168" class="alignnone size-medium wp-image-9656" /></a>
Sedikit lah gue kenalin:
👩 Pimpim : temen sekelas di UNJ yang ngebawa 4 temen yang super duper
👩 Dwita : ibu konsumsi dan penyedia counterpain
👦 Ian : bapak motivator perjalanan yang paling sabar nungguin cewe-cewe pemula
👦 Didie : laki-laki yang mengajarkan bagaimana caranya bermonolog suatu saat nanti di depan anak-anak
👦 Rio : orang yang ga kenal lelah, yang sanggup gitu naik puncak 2 kali dalam waktu yang bersamaan, pertama ngecek jalan, kedua bareng sama kita-kita

Sekian buat perkenalan temen temen gue yang super. Lanjut ke cerita yuk. Udah hayuk aja.

Nah abis ashar, lanjut lah temen gue si Rio ngajakin ke Tegal Alun. See, gue cuma mikir Tegal Alun itu kaya tempat apa, bukan puncak dari Gunung Papandayan. Nikmatin ajalah ya jalan jalannya, ngelewatin Hutan Mati yang keren banget, sulit gue ungkapkan kekerenan dari setiap langkah gue menikmati Hutan Mati yang bernuansa putih di pandangan gue. Sampai Hutan Mati, perjalanan belum berakhir, gue masih harus ngas ngos lagi menuju Tegal Alun. Lagi lagi temen gue PHP, bilangnya cuma 15 menit, tapi apaaah!! Hahaha perjalanan mulai bener bener runyem, cuma bawa 1 botol minum kecil untuk berenam, air tinggal 1/4. Eh ngelihat ada selang mata air yang kebuka, akhirnya kita semua minum dari situ. Awalnya gue ga yakin untuk minum, masa ga dimasak sih, tapi gue beranikan diri buat minum, it's amazing, ga ada rasa, yang ada segar banget, kaya minum air dingin. Airnya pun jernih banget. Lepaslah dahaga kita minum itu. Tapi perjalanan masih dilanjutkan. Ya, untuk sampai Tegal Alun mesti manjat tebing tanah pakai tali yang gue ga nyangka gue bisa lakuinnya. Huahaha gue keren :)))

Sampai lah di Tegal Alun, ternyata oh ternyata itu puncaknya, bukan cuma tempat main yang dimampirin aja. (Meskipun ada yang bilang masih ada lagi puncaknya, tapi kebanyakan menganggap Tegal Alun adalah puncaknya) tidurlah gue sama teman teman di padang edelweis itu. Ga mikir lagi mau ngapain, tapi ketiga cowo masih penasaran, mereka mencoba cari puncaknya lagi, meskipun ga ketemu. Alhamdulillah sih, gue ga kepikiran kalau ketemu kaya gimana lagi perjuangan gue.

Akhirnya kita turun dari Tegal Alun menuju Pondok Saladah lagi, kita mencoba jalan baru yang kayanya ada beberapa orang lewat sana. Turun turun turun dan turun, hap.. Kaki gue keseleo yang kanan, jatuh lumayan nyeeeerii. Baiknya temen-temen gue pada sabar. Setelah lumayan lama istirahat, perjalanan dilanjutkan dengan ritme gue yang keseleo. Ternyata jalanan baru itu jalannya parah, terjal, dan diiringi dengan jurang. Gelap pula. Mana yang bawa senter cuma 3. Dag dig dug sih, apalgi pas nemuin jalan bercabang, tapi selama kita masih menemukan pita, kita berarti ga nyasar. Nyerosot sana nyerosot sini, di dalam hutan yang dingin dan gelap tapi gerah. Gue yakin sebenernya ga cuma hati gue yang was was, tapi kita semua mencoba stay cool. Hati agak tenang ketika ngedenger suara banyak orang meskipun dari kejauhan. Akhirnya jam 7 malam sampai tenda, kita semua ngerebahin badan, tapi gue yakin semua pada lapar, lanjutlah masak memasak.

Makan malam selesai dan kita bersih bersih. Solat dan lanjut tidur. Berencana lihat sunrise besoknya tapi ya tapi cuma rencana. Tengah malam gue kebangun gegara kedinginan, kaya badan gue diremet remet. Kata temen gue ada anak laki rombongan yang masuk ke tenda karena ada teman satu tenda gue kedinginan, herannya gue ga sadar sama sekali. Mungkin gue sendiri pingsan karena kedinginan kali ya :( hahahha

Sekian lah cerita gue soal naik gunung. Banyak banget pelajaran yang gue ambil dari naik gunung itu. Oh ada satu hal yang gue percaya, di gunung itu semua kepribadian orang terlihat. Kita bakal mengerti apa yang dimaksud dengan "Don't judge a book by its cover." Mau tau apa maksudnya? Coba rasain sendiri, maka naik gunung lah :)

Salam
Dari kaki kaki yang masih pegel

Silvia Ratna Juwita
11 November 2014; 9.18 WIB,

Sunday, May 25, 2014

Saya Masih Mengaku Manusia

Saya bukan yang serba benar tapi mencintai kebenaran. Mungkin saya angkuh tapi saya tidak berpura-pura. Saya tersenyum melihat mereka berdecak kagum pada hatinya yang menikmati penipuan dalam kata. Saya tak sepintar dugaan mereka, tapi saya tak sebodoh bayangan mereka. Saya berhati maka saya merasa, bila benar tidak baik maka saya marah, namun saya juga pernah salah. Saya memaafkan tapi tidak sekarang. Saya dibodohi, biarlah. Saya sabar, tapi tak sekuat nabi. Itulah mengapa saya masih mengaku manusia.


Depok, 25 Mei 2014; 17.00 WIB
Silvia Ratna Juwita

Monday, April 14, 2014

Karena Aku Bukan Bidadari

Aku terbawa masuk ke duniamu
Dalam petikan gitar di genggamanmu
Aku nikmati senyuman
Saat kau nyanyikan lagu cinta untuk kekasihmu

Kulupakan luka hati dengan berbagi kisah denganmu
Dan aku mencandu untuk selalu melihat bola matamu

Aku diam, aku menunggu
Aku menikmati saat aku duduk berdua denganmu
Aku berharap, aku berbisik
Aku ingin cinta yang seperti dirimu

Aku terpukau tak menyangka
Ketika kau tahu saat aku menuliskan bayang dirimu
Yang membuaiku dengan canda namun kuanggap nyata
Menikmati romansa kata indah di singkatnya waktu
Saat kau tak lagi bersama kekasihmu
Dan aku merasa wangi surga begitu dekat

Namun semua berakhir
Saat tak sanggup lagi kumenahan cemburu
Melihat kau memuja bidadari yang pandai menari
Mereka begitu indah
Mereka begitu sempurna

Aku pergi meninggalkan mimpi dengan tangis
Karena aku sadar
Aku bukanlah bidadari

Rindu padamu pun percuma
Karena tak ada selain bidadari
Mampu menari di pikiranmu

Aku pergi tanpa sayap
Karena memang aku tak bersayap
Namun pasti akan aku gapai satu mimpi yang beterbangan
Meskipun aku bukan bidadari



Depok 14 April 2014; 16.52
Silvia Ratna Juwita

Saturday, September 21, 2013

Luka Mencintaimu

Bila saja kutahu mencintaimu adalah pedih
Akan kulepas semua perasaan
Di mana kau pernah memintaku untuk menjaganya
Yang kukira itu bukan canda

Berkali kau menyakiti hati
Yang semakin hari makin lekat mencintaimu
Kau menepikanku dengan memuji kecantikan
Setiap wanita yang kau lihat, bahkan ia sahabatku sendiri

Kau hancurkan cahaya kehidupanku
Ketika kau menyakiti hatiku
Yang kau sendiri telah paham
Betapa dalamnya perasaan meskipun telah terpisah jarak
Aku mencintai setiap mimpi
Di mana aku bisa memeluk kebahagiaan tulus bersamamu
Dan itu tak akan menjadi nyata

Katakanlah bila memang kau ingin kan aku pergi

Bukan dengan luka saat kau mengagumi wanita lain
Di hadapanku


Depok, 21 September 2013; 9.11 WIB
Silvia Ratna Juwita

Friday, August 23, 2013

Diam, Ternyata Aku Menangis

Diam aku harap bisa
Dengan diam aku ingin tahu
Dengan diam aku pinta sadar
Seberapa besar aku menahan ego untuk tetap melupakanmu
Di kala cinta terlalu cepat menggerogoti hati
Yang memancarkan ingatan tentang senyummu

Dalam diam kuharap bersama doa
Kau akan hadir bersama sebait kabar
Tapi doa tidak dijamah Tuhan
Aku bermimpi bersama tangis
Memandang layar yang tak kunjung memunculkan dua kata namamu

Ya...
Aku paham
Ketidakberartiannya diri ini
Ketidak diingatnya nama ini di sejenak pikiranmu
Meski kau selalu tahu seberapa besar rasa yang tercipta karena candamu

Aku menangis karena ulahku
Membiarkan kebodohan menyelimuti nafsu hati untuk memilih tetap mencintaimu dengan segala resiko
Dan kini aku bermandikan duka resiko yang kutanam sendiri


Depok, 23 Agustus 2013; 16.59 WIB
Silvia Ratna Juwita

Wednesday, August 21, 2013

Rasa Ini

Aku mengagumi sosokmu
Bukan karena manisnya senyummu
Bukan karena renyahnya suaramu

Aku menikmati setiap detak degub jantung dari setiap kata dari bibirmu
Dalam bingkai cerita, pujian atau sekedar canda

Lenggok tubuh dan tarian mata terpampang indah
Meski kutahu itu bukan milikku
Sekedar canda yang biasa kau bagikan pada setiap yang di hadapanmu

Ketika hati tak bisa memilih
Pergi pun belum mampu terlaksana
Karena langkah tak ingin jauh pergi
Dan biarkan hati terbodohi harap

Perasaan yang terkuak
Tak terbendung hingga kata mengalir
Dari kejujuran
Dan perjuangan hanya mampu dalam doa
Menunggu waktu yang jemput rasa ini tuk pergi

Depok, 21 Agustus 2013; 6.05 WIB
Silvia Ratna Juwita

Saturday, August 3, 2013

Kamu Berbeda

Semua harusnya tak terjadi menjadi cerita serumit ini di mana semua perasaan terlalu mengalir sesuai arusnya
Bendungannya tak pernah disiapkan karena tak meramalkan akan terjadi sampai pada badai ini
Pada waktu yang seharusnya memang tak perlu datang
Ketika rasa tak seharusnya mudah terbentuk menjadi macam-macam bentuk
Aku yang telah mencoba berdiri pada karang tertinggi dan bersikap angkuh pada kenyataan
Mendapati runyam leburnya perasaan yang tak pernah terduga
Seseorang yang hadir dalam persimpangan rasa menjadi istimewa ketika waktu menciptakan kebersamaan
Padahal datang dengan kecompang-campingan gelak tawa yang jelas semua sekedar canda
Membuat semuanya berbeda, lajurkan prinsip hidup yang tak biasa
Karang tempat berpijak yang rapuh membuatku lemah tak seperti biasanya
Kamu memang berbeda
Bukan cinta biasanya, berhasil menciptakan khilaf yang telah merobek janji
Untuk menyimpan perasaan selamanya sendiri


Depok, 3 Agustus 2013; 16. 22 WIB
Silvia Ratna Juwita

Friday, August 2, 2013

Cinta

Banyak cara ketika cinta menjamu tamunya duduk dalam pusaran hati meski tak ada tempat duduk atau pun sekedar untuk bersandar
Dia meraihnya dengan cerita, mengelabui lelah dengan mimpi dan harapan yang terbuat sendiri
Membuat tamunya asyik melupakan luka dengan nantinya membuat luka baru sampai bertemu pada peraduan pengobatan luka dan pewujud segala mimpi serta harapan
Terbuai dalam tawa yang mungkin berakhir tangisan pilu merongrong dekapan yang belum ditemui
Tersanggah singgahan kebahagiaan yang masih bukan hak milik
Menderapkan langkah sampai entah kapan berhenti tertulis untaian kata kepedihan karena kekeliruan, ketidakberartian atau banyaknya alami perpisahan dari sekian pertemuan
Hingga padanya kepastian

Depok, 2 Agustus 2013; 17.37 WIB
Silvia Ratna Juwita