Sunday, October 30, 2011

My (Aku & Anggun) Satnite

"Mbak kalau ke arah Pasar Rebo ke mana yah?"
"Pasar Rebo?"
"Kalau Depok atau Kampung Rambutan tau ga Mbak ke mana?"
"Depok?? Kampung Rambutan??"
(T___T")
"Ini Jakarta apa sih Mbak? Daerah apa?"
"Jakarta Timur, Pondok Kelapa."
"Oooh Jakarta Timur, Alhamdulillah.. berarti kalau ke Cililitan ke mana?"
"Cililitan muter arah lagi!!"
"Muter arah???"
(o___O")
"Ooh kalau ga belok kanan aja, ikutin jalan.."
"Makasih yah Mbak.."
Percakapan itu yang menentukan kelangsungan perjalanan pulang aku dan Anggun. Malam itu malam ter-HOROR yang mungkin pernah aku rasakan bersama Anggun. Seharusnya setelah menonton pertunjukan teater SAHID yang berjudul Cermin di Bentara Budaya Jakarta (BBJ) dibilangan Palmerah depan gedung Kompas kita langsung pulang. Sebelumnya aku pribadi belum pernah ke BBJ mengendarai motor sendiri--biasanya selalu diantar-jemput teman--. Nah, mungkin inilah yang disebut dengan kenakalan remaja yang aku dan Anggun lakukan.
Missed Call dari orangtua tak terdengar, karena sedang asik menikmati malam Minggu bersama Ladiez, Erny, Ari, Wahyu, Reza di Bundaran HI, Jakarta. Ketika telepon diangkat pun, jelas kebohongan yang menjadi alasan.
"Lagi di mana? Pulang jam berapa?"
"Masih di BBJ, sekitar 1 jam lagi baru selesai.."
"Yaudah hati-hati, langsung pulang yah!!"
Itulah inti perbincangan antara aku dan Mama, Anggun dan Ayah.
Maaf kami berbohong :'(

Sebenarnya masih sangat asik bermain di Bundaran HI, foto-foto, nyanyi bersama pengamen, sampai dipalak banci yang sedang ngamen tapi aku dan Anggun memang harus pulang sebelum larut malam, meskipun memang sudah larut. Mengikuti petunjuk jalan, ada nama yang kita kenal Jatinegara-Kp. Melayu. Arah panah lurus, tidak ada belok. Berjalan dengan kecepatan 60-80km/jam, menikmati angin malam serta debu yang berhamburan ke wajah karena sepanjang jalan sedang ada proyek pembangunan jalan layang. Dan setelah dicermati ternyata kita ada di depan Mall Ambasador.
"Anggun, Ambasador nih. Tau ga Ambasador di mana? Jakarta apa yah?"
"Aduuh ga tau. Kayanya Jakarta Pusat yah?"
(>__<")
"Tapi jalanan begini kayanya di Jakarta Barat Vi!!"
"Itu ada tulisan Pondok Kopi, Klender, Pondok Bambu, itu di mana yah? Kita ambil apa?
"Ga tau.. lurus aja kayanya.."
Oke, lurus.. dan ending ceritanya adalah percakapan di atas, ketemu sama Mbak-mbak di pinggir jalan lampu merah. Thanks Mbak ^_^
Maaf mama... Ipi udah bohong.. Maaf ayah, Anggun udah bohong..


Sayur!! nih foto apa yang kita lihat semalam yang seperti dunia robot (T__T)
<photo id="1" />


Silvia Ratna Juwita
Depok, 30 November 2011

Friday, October 21, 2011

Kukata

dinamika yang tak terbaca
berubah dalam waktu yang tak terkira
tak mampu aku memahaminya
adakah saja satu kata
yang bisa kau ucap menjawab tanya
menyapa dalam tawa
atau sekedar pelipur lara
yang tak jua
berhenti menjarah jiwa
terluka...
dan aku menepi meski tak suka
melihat kau berlaga
tanpa cerita
aku bertanya
tak ada jawab apa
biar saja
aku meraba...
merasa...



Silvia Ratna Juwita
Depok, 21 Oktober 2011; 10.08 WIB

Sunday, October 16, 2011

Mau Cerita :)


Kehadiranku mungkin terlalu menyusahkan
Karena itu aku mesti diserahkan
Namun jangan serahkan aku seperti sebuah barang
Karena aku punya hati, punya perasaan….

Kutipan puisi tersebut aku temui di Yayasan Sayap Ibu, Jumat, 14 Oktober 2011.
Percayalah, hati ini sangat terenyuh membacanya, hati saya seperti dibuat dingin, terlalu dingin. Apalagi ketika saya memasuki ruangan yang berisi balita umur 6 bulan – 1 tahun. Belum sampai satu menit saya duduk di lantai depan pintu ruangan itu, seorang anak laki-laki berbaju merah berlari kecil menghampiri saya dengan senyumannya sambil memegang mainannya.
Awalnya saya pikir dia hanya ingin menyapa saya saja, tapi ternyata dia memeluk saya, tangan lembutnya melingkar halus di leher saya, tawa kecilnya lembut memasuki lubang telinga saya. Saya hanya terdiam membalas pelukannya lebih erat, air mata saya sudah memicing di ujung mata, belum selesai malaikat kecil itu menyayat hati saya, dua malaikat dan dua bidadari kecil juga mengerubungi saya. Dua malaikat kecil ikut memeluk saya, dan dua bidadari kecil duduk di pangkuan saya. Mereka manja. Mata kecilnya menatap dalam ke mata saya, senyumnya mungil, polos. Ada yang menyentuh wajah saya, mencium saya. Wangi mereka khas, minyak telon.
Saya larut menikmati surga kecil bersama mereka, tapi tak sampai sepuluh menit saya di ruangan itu, Ibu Panti menghampiri saya, dia mengatakan kalau saya dilarang masuk karena belum menyerahkan hasil rontgen, takutnya saya memiliki penyakit yang mungkin bisa menular ke anak-anak. Saya maklum peraturan itu, tapi mereka masih memeluk saya, masih menggelayut di tubuh saya. tak tega rasanya melepas tangan anak-anak itu dari tubuh saya. Saya keluar dari ruangan itu, memandangi mereka dari jendela, mereka masih menatap, masih tersenyum, dan melambaikan tangannya.

Entah, ada perasaan yang tak bisa saya gambarkan jelas dalam tulisan, semua itu tersimpan dalam hati.
Dari tempat itu saya banyak belajar dari apa yang namanya kebahagiaan. Kebahagiaan yang kita sendiri masih terus selalu mencari lebih dari apa yang ada seakan apa yang kita miliki saat ini sangatlah jauh dari kurang, padahal masih banyak yang belum menikmati kebahagiaan seperti apa yang pernah kita rasakan sampai saat ini.

Dan bersyukur memang cara yang paling tepat menikmati kebahagiaan.


Silvia Ratna Juwita
Depok, 16 Oktober 2011; 21.45 WIB