Friday, February 25, 2011

Tentang Cita-cita


Berbicara cita-cita, dari saya kecil sampai sekarang sebesar ini cita-cita saya sudah banyak berubah-ubah. Waktu SD saya sangat ingin sekali menjadi seorang dokter. Dokter sepertinya cita-cita umum yang banyak diinginkan oleh anak seumuran saya saat itu. Ketika saya duduk di bangku SMP cita-cita saya berubah lagi, saya ingin sekali menjadi seorang sekretaris karena melihat di tv penampilan seorang sekretaris itu modis, cantik, keren sekali. Yang saya ingat ketika saya menceritakan keinginan saya menjadi sekretaris kepada Mama, Mama seperti tidak menyetujuinya. Tapi ia tak langsung menunjukkan ketidaksukaannya, Mama hanya memberitahu bagaimana "sekretaris" dari sisi yang ia tidak suka. Tadinya saya kekeh, tapi seiring berjalannya waktu saya mengerti dan cita-cita saya pun berubah. Begitupun saat saya sudah duduk di bangku SMA. Saya ingin sekali menjadi pengacara. Apalagi saya sering melihat di tv pengacara wanita yang di mata saya hebat adalah Elza Syarief. Beliau banyak sekali menangani kasus-kasus artis di Indonesia, ataupun kasus lainnya. Saya bangga melihatnya sebagai sosok wanita yang hebat, kompeten dengan jobnya. Mama sih setuju-setuju saja mengetahui cita-cita saya, tapi beliau dan kakak saya lebih suka saya memiliki cita-cita yang masih dalam jurusan IPA. Alasannya karena (1) dulu waktu Mama SMA, dia berhasil masuk SMA unggulan di Jakarta SMAN 14 Cililitan. Tapi ketika penjurusan ada hal yang benar-benar mendesak Mama untuk memilih jurusan IPS, padahal sebenarnya ia ingin sekali di jurusan IPA. (2) Kakak saya yang juga masuk SMA unggulan di Jakarta, SMAN 39 Cijantung, duduk di jurusan IPA dan lanjut kuliah di Universitas Indonesia Fakultas MIPA jurusan Fisika. Jadi dia juga ingin saya belajar IPA.
Memang waktu saya duduk di SMP dan SMA sampai kelas satu saya termasuk yang unggul dalam nilai Fisika.  Itu juga kalau ada PR saya selalu minta diajarkan sama Kakak saya --sebelum kakak saya sibuk dengan pekerjaannya sekarang--. Tapi sebenarnya saya tidak berniat untuk berada di jurusan IPA. Akhirnya penjurusan pun tiba, sekolah juga menyarankan saya untuk mengambil jurusan IPA. Saya memang tidak cepat menghapal, saya juga tidak pandai hitung-hitungan, tapi nilai Matematika, Fisika, Kimia, Biologi saya jauh lebih tinggi daripada nilai Sosiologi, Sejarah, Kewarganegaraan. Itu yang semakin membuat saya harus duduk di jurusan IPA.
Pertama saya duduk di kelas 2 IPA2 ada hal yang membuat saya kerasan di kelas ini. Pernah waktu itu ada PR Fisika satu nomor, sekarang saya lupa tentang apa. Guru Fisika saya menyuruh mengerjakannya terlebih dahulu, melihat contoh. Karena saya sama sekali tidak mengerti walaupun sudah banyak coretan hitungan saya di kertas, tetap saya tidak bisa menyelesaikannya, akhirnya saya minta bantuan Kakak saya, dengan lancarnya dia mengerjakan soal itu meskipun terkadang mengalami kesulitan. Esok harinya saya bangga sekali membawa PR saya, ternyata teman-teman yang lain juga tidak bisa menyelasikannya, bahkan ketika guru saya membahasnya dia juga sedikit bingung, bukan karena beliau tidak kompeten dalam bidangnya, bahkan menurut saya beliau guru yang sangat pintar, mungkin soal ini saja yang membingungkan. Lalu saya memberitahukan saya sudah mengerjakan soal itu dibantu kakak saya, guru saya pun membacanya, dan menyuruh saya menyalinnya ke papan tulis. Beliau memiliki hati yang lapang sekali, menerima kalau saya muridnya bisa mengerjakan soal itu --tentunya dengan bantuan kakak saya--. Saya kagum dengan guru saya itu, Ibu Puji namanya. Lalu ketika pengambilan Rapor saya mendapatkan bingkisan dari guru saya Ibu Puji, berupa sebuah file atau yang juga sering disebut binder. Selain saya yang mendapat bingkisan itu ada lagi teman saya yang peringkat satu dan dua di kelas, saya di kelas hanya mendapat peringkat sepuluh besar.
Ketidak-niatan saya dengan jurusan IPA mempengaruhi nilai saya. Dari kelas 2 sampai kelas 3 nilai yang unggul adalah Bahasa Inggris, Bahasa Perancis, Bahasa Indonesia, dan nilai TIK (Ilmu Komputer)  daripada nilai IPA saya. Karena saya tidak menyukai IPA, saya melampiaskan kesungguhan saya dalam pelajaran kebahasaan saya. Padahal dari kelas 2 sampai 3 saya sudah ikut bimbingan belajar di luar sekolah.
UN tiba, saya menghadapi dengan penuh keberanian meskipun tidak mantab hati. Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris lancar, ketika jawaban Bahasa Inggris saya diperiksa, seharusnya Bahasa Inggris saya hanya salah dua. Tapi tidak dengan Fisika saya. Saya sama sekali tidak bisa mengerjakan hanya 4 soal yang saya yakin benar. Sisanya saya "lempar penghapus", teman-teman saya juga banyak yang menangis karena tidak bisa, tapi saya hanya bingung harus bersikap apa, saya hanya fokus dengan UN saya yang lain.
Pengumuman kelulusan tiba, sekolah saya dinyatakan LULUS 100%. Setidaknya kekhawatiran saya berkurang, tak peduli berapa pun nilai saya.  Ternyata benar, nilai Fisika saya sama dengan nilai standar kelulusan yaitu 4,25 nyaris tidak lulus. Tapi nilai Bahasa Inggris saya yang tidak sesuai yang diperkirakan 9,-- ternyata hanya mendapat 7,70. Ada yang bilang nilainya dikatrol. Baguslah, setidaknya saya lulus. :D
UMB tiba kakak saya menyuruh saya mengambil jurusan IPA Geografi, Biologi, dan Sastra Indonesia. Kali ini Sastra menjadi pertimbangan karena melihat nilai Bahasa saya waktu SMA bagus. Tapi semua pilihan di UI, saya yang sudah tidak semangat belajar. Akhirnya tidak diterima. Akhirnya saat SNMPTN dengan sisa semangat belajar, saya diterima di jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.
Saya mulai memikirkan cita-cita.
Bertemu dengan dosen-dosen. Ada seorang dosen yang membuat hati saya kepincut ingin menjadi dirinya, Elvi Susanti namanya. Ketika mengajar beliau sering membagi pengalaman dirinya yang menjadi wartawan kepada mahasiswanya. Saya kagum dengan ceritanya, apalagi ketika saya ke rumahnya, beliau menunjukkan foto-fotonya ketika ia menjadi seorang wartawan. Hati saya berkata "keren". Apalagi dengan beliau menjadi wartawan, ia bertemu dengan belahan jiwanya yang kini menjadi suaminya, Budi Putra. Ibu Elvi juga banyak menceritakan pertemuan Ibu dan Bapak. Ouuuh So sweet pokoknya. Cita-cita saya pun kembali. Yah, menjadi seorang wartawan seperti Ibu Elvi, lalu menjadi seorang dosen. Kali ini Mama dan Kakak saya mengikuti apa mau saya.
Cita-cita saya semakin ingin diwujudkan setelah melihat video berita teman saya Yulian Asri Nur yang lebih sering saya panggil Ian karena panggilannya memang itu, Ian Mbhol. Berita itu berjudul Terminal Blok-M Kian Semrawut. Melihat videonya benar-benar membuat saya iri, karena saya ingin sekali merasakan pengalaman itu. Merasakan seperti itu.
Semoga kelak nanti saya bisa mewujudkannya. Tentunya dengan usaha saya juga dan keridhoan dari-Nya. Amin.

Tuesday, February 22, 2011

Double Red Maroon (Silvi and Anggun) at Kubah Emas


Liburan sudah mau masuk ke minggu ketiga. Cukup bosan dengan rutinitas yang lebih banyak dihabiskan di rumah saja. Meskipun selama liburan ini aku memang lebih suka di rumah daripada menghabiskan waktu di luar. Apalagi sekarang ini aku lagi senang menghabiskan waktu dengan tawa bersama Mama, karena selama aku kuliah waktuku terpotong banyak di kampus dan ngajar sepulang kuliah, kalau tiba di rumah pun rasanya badan sudah capek jadi aku sering memutuskan langsung tidur. Menunggu mataku terlelap memang cukup lama, kadang kuhabiskan dengan online di hape sampai hapeku error. Hahahahahaha……..
Walaupun begitu tetap aku merasakan ingin mendapat sedikit refreshing pada waktu liburan semester kali ini.
Tepatnya siang dua hari yang lalu, tanggal 20 Februari, aku ingat dengan sahabatku Anggun Citra Dini Dwi Puspitasari --panjang memang namanya-- yang biasa kupanggilnya Anggun. Rasanya aku ingin jalan-jalan bersama sahabatku itu. Tak lama kemudian, malamnya Anggun mengirimkan wall di Facebook ku.
"Silvi,,sehat???? Silvi kita ke seven eleven lg yuk!!! numpang minum slurpee di sana...heeee"
Langsung saja tanpa pikir panjang aku langsung komen, dan mengajaknya jalan-jalan. Tadinya aku bingung mau mengajaknya kemana, tapi tiba-tiba terlintas ingin sekali pergi ke Masjid Kubah Emas, yang masih satu daerah dengan tempat tinggalku Depok, tapi tepatnya di Limo, Cinere - Depok.
Akhirnya kami menyepakati untuk berangkat ke Kubah Emas esok harinya. Anggun mengatakan akan berangkat sekitar pukul 9-10 pagi dan kita ketemuan di perempatan lampu merah Gunadarma.
Keesokan harinya, aku bangun pagi, menjalankan rutinitas seperti biasanya, nyapu, nyuci piring, bersihin kandang hamsterku. Saat aku membersihkan kandang hamster, aku terkejut karena hamsterku berkurang satu, Sally namanya, tersontak aku dan teriak "Mamaaaa... Sally ga ada, ilang, kabur kayanya..", moodku hari itu rasanya langsung jelek, hampir saja kuputuskan untuk gagal jalan-jalannya. Aku mencarinya keliling rumah, dari kamar Mama, ruang tamu, ruang makan, kamar mandi, ruang di bawah tangga, taman belakang, ruang kerja, dapur bersih bahkan sampai garasi dan dapur kotor yang letaknya ada di luar rumahku. Tetap saja tak tampak batang hidungnya. Sedih sekali rasanya harus membayangkan Sally tak ada. Yang aku sedihkan aku berpikiran bagaimana dia makannya, minumnya kalau berada di luar kandang.
Tapi keputusan untuk meng-cancel acaraku hari ini sama Anggun adalah hal yang ga etis. Janji tetap janji. Aku terus belajar, supaya sebisa mungkin aku menepati janji.
Sekitar pukul delapan pagi, Anggun menghubungiku, dia mengabarkan kalau dia berangkat sekitar pukul 10, aku pun mengiyakan. Selesai beres-beres, aku memutuskan tidur kembali sekitar satu jam.
Satu jam aku terlelap, tubuhku rasanya masih ingin menempel di tempat tidur. Tiba-tiba hapeku berbunyi, ada sms dari Anggun, dia mengabarkan kalau dia sudah naik angkot 112. Aku tersontak bangun dan bergegas mandi. Entah sepertinya jalanan jalur 112 Jalan Raya Bogor dan Akses UI sepertinya lengang, selesai mandi, Anggun sudah sampai di Pasar Pal dekat rumahku. Aku meminta Anggun untuk naik ojek dari perempatan Gunadarma ke rumahku. Saat aku memakai bedak, Anggun sudah tiba di depan rumahku --dia hebat juga tahu rumahku, karena sebelumnya dia belum pernah ke rumah, ternyata dia mengenali rumahku dari foto yang ada di hape--. Kami berdua tidak janjian, untuk pakai baju apa, ternyata kami berdua sama-sama menggunakan baju berwarna merah maroon.
Anggun menungguku siap-siap, lalu kami sarapan. Selesai sarapan, kami memutuskan untuk berangkat setelah adzan dzuhur. Berhubung kami berdua perempuan, mengisi waktu kosong yang baik adalah berfoto ria alias narsis di kamarku. Hhahaha..
1298367096955634108
Adzan dzuhur tiba, kami bergegas untuk berangkat, kami berdua juga tidak janjian untuk sama-sama mendapati tamu bulanan. Hhohoho…
Saat menuruni tangga dari kamarku, aku masih berkemas-kemas dengan tas warna puti, Anggun yang sedang asik melihat taman belakang rumah, sepertinya melihat ikan-ikan di kolam, masuk dan memberitahuku sambil menunjuk ke arah kamar mandi dekat kamar Mamaku, dia bilang “Sil, itu satu lagi hamsternya…”. Ouh Sally, akhirnya kamu ketemu juga.
Mood-ku kembali membaik dan langsung berangkat!!
Sebelum tiba di Masjid Kubah Emas, kami mampir dulu ke Alfamart membeli batu baterai untuk kamera digital *bener-bener niat mau foto, hhahaha*. Setiba di Masjid aku mengganti sendal jepit dengan sepatu high heels, huahaha, suka lucu ingetnya, terlalu niat sepertinya untuk narsis. Biarlah sekali-kali ini. Hhihihihihii…
1298367176211617924
Baru jalan beberapa langkah kami pun sudah ambil beberapa foto diri. Baru saja beberapa foto, langit sudah bocor, hujan tak tertahan kami pun berlari, mana pintu masuk khusus wanitanya berada di bagian belakang. Dengan high heels aku berlari sekencang mungkin, jari kelingkingku pun lecet, *periiih*.
Kami menitipkan sandal dan sepatu kami, lalu bergegas ke depan masjid. Kami duduk di tiang-tiang, bersembunyi dari balik arah angin yang menghembuskan hujan ke arah kami. Dalam kondisi begitu pun jiwa narsis kami tidak punah, masih saja bergejolak semangat '45, sekitar 27 foto, hujan pun reda. Kami berkeliling Masjid sambil foto-foto, entah sudah berapa banyak foto di camdig saya.
Kami masuk ke dalam Masjid hanya untuk melihat bentuk di dalamnya. Ini kali ketiga aku ke dalam masjid, tapi aku masih merasa takjub dengan kemegahan Masjid ini. Masjid yang megah dengan lampu hias yang menggantung indah, di mana atap bangunan ini bargambar langit. Kesan kokoh pun tidak terlewatkan. Subhanallah, rumah Allah yang indah. ^_^
Setelah selesai meluapkan kekaguman kami, kami keluar bangunan Masjid. Session foto pun dilanjutkan, sampai memori camdig saya habis, dilanjutkan dengan hape kami berdua.
Kenyamanan kami berdua terganggu ketika berfoto. Ada Mas-mas tukang foto keliling yang menggoda centil dengan gaya alay-nya --maaf kami tidak bisa menghargai anda, karena anda pun tidak menunjukkan sikap untuk dihargai--. Kami pun pergi ke arah samping kanan masjid. Di sana banyak orang-orang yang melakukan hal yang sama dengan kami, berfoto-foto. Bangunan masjid memang sangat indah arsitekturnya. Tak pernah bosan melihatnya. Rumah pemilik masjid pun tak kalah megah, rumahnya sangat besar.
Setelah puas berfoto-foto kami memutuskan untuk makan bakso, tapi hujan belum mengizinkan kami pulang. Kami pun berteduh sambil melihat-lihat hasil foto kami.
Hujan reda, kami pun bergegas dan makan bakso. Lalu kami pun pulang ke rumah masing-masing.
Refreshing singkat namun menyenangkan. ^_^
12983668951877916698

Monday, February 21, 2011

Simfoni Hitam dan Dirinya




Simfoni Hitam by Sherina

Malam sunyi kuimpikanmu, kulukiskan kita bersama
Namun slalu aku bertanya, adakah aku di mimpimu
Di hatiku terukir namamu, cinta rindu beradu satu
Namun slalu aku bertanya, adakah aku di hatimu
***
Tlah kunyanyikan alunan-alunan senduku
Tlah kubisikkan cerita-cerita gelapku
Tlah kuabaikan mimpi-mimpi dan ambisiku
Tapi mengapa ku takkan bisa sentuh hatimu
***
Bila saja kau di sisiku, kan ku beri kau segalanya
Namun tak henti aku bertanya, adakah aku di rindumu
***
Tak bisakah kau sedikit saja dengar aku
Dengar simfoniku
Simfoni hanya untukmu….

      Pertama kali dengar lagu itu waktu aku lagi nonton FTV --lupa judulnya--. Awalnya aku pikir lagu itu 'seram' karena bunyi 'tuts' pianonya terasa horor di telingaku. Tapi karena begitu sering diulang lagunya, sepintas kudengar lagu ini sepertinya sedih. Langsung saja aku nge-search lagu dan liriknya.
GLEEEEEK....!!!!
     Lagu ini menggambarkan apa yang sedang aku rasakan saat ini, semua yang selama ini menyesakkan hatiku, membuat mataku tak ingin terlelap cepat, selalu menunggu larut menghantarkan jiwaku ke alam mimpi.
     Biasanya rasa yang selama ini kumiliki selalu kuutarakan dalam bentuk puisi, sengaja kumainkan jemari, menekan tombol-tombol keyboard huruf yang berbaris menjadi kata, setidaknya mampu membuatku melepaskan dan melampiaskan rasa. Jujur aku ini termasuk orang yang tidak bisa menjaga, menutup rapat-rapat perasaan, bisa-bisa makhluk Adam itu --jika peka-- mengerti jelas apa yang kurasa terhadapnya.
     Kembali ke lagu Simfoni Hitam. Ingin sekali kuperdengarkan lagu ini pada dirinya, ingin sekali rasanya dia mendengar sedikit saja apa yang aku rasakan selama ini. Memang belum lama, tapi rasanya hatiku sudah terlanjur dalam mengukir indah namanya.Pernah sekali kutuliskan sebuah puisi untuknya berjudul Entah, mungkin dia menjadi salah satu pembacanya tapi dia tak pernah tahu tahu kalau puisi itu untuk dirinya. Untuk dia yang membuatku belakangan ini menjadi seseorang yang selalu galau. ckckck...
      Hahaha, bahasanya galau. Tapi memang benar begitu kenyataannya.
      Simfoni Hitam memang hanya sekedar lagu sederhana, tapi kesederhanaannya itu yang secara megah menyuratkan isi hatiku. Benar selama ini diam-diam aku mengagumi dirimu, yang begitu cepatnya mencuri hatiku yang masih ragu memiliki rasa untuk siapa. Tapi pertemuan itu menggoda hatiku yang masih ingin berkelana, saat ini tertambat pada dirimu, entah untuk sementara atau selamanya.
      Sebenarnya aku tak pernah membayangkan kalau kamu adalah sosok laki-laki yang akan pernah menempati bangku kosong dalam hatiku. Aku sendiri tak pernah percaya akan rasa ini, tapi aku salah telah membiarkan hati ini bermain-main.
      Hingga setiap malamnya aku hanya bisa mencoba hadirkan bayangmu dalam mimpiku, hanya bisa kulihat gambar dirimu, semua hanya bisa kulakukan diam-diam tanpa sepengetahuanmu.
      Tapi tak kupungkiri, aku juga selalu bertanya apa kamu juga akan melakukan apa yang kulakukan, setidaknya apakah aku pernah kau pikirkan walaupun itu hanya sejenak, secepat detik berganti? Tanpa kamu jawab seharusnya sudah aku mengerti, tak pernah sedikit pun aku terlintas dalam benakmu.
HUAHAHAHA... NGENES AMAT!!
      Mungkin aku yang salah telah membiarkan rasa terlarang ini terus menancapkan akarnya, mengikat, menjerat, dan selalu menyesakkan. Rasanya kalau rasa dalam hati ini berbentuk lembaran dalam buku ingin sekali kucarik lembarannya, kurobek, kuremas, kubakar, dan kuguyur dengan air sisa abu yang ada, hingga tak ada lagi abu kenangan yang tersisa. Dan buku tetap menjadi buku, mungkin hanya lembarannya saja yang berkurang tapi semua tetap rapih, tak ada lembaran kisah yang masih harus terpaksa disimpan dan perih jika membuka dan membacanya lagi. Sayang itu hanya khayalan. Karena pada kenyataannya hatiku bukan lembaran, bukan sebuah buku.
     Aku menyadari bahwa kamu yang kuimpikan tak pernah mengerti apa yang kurasa, meski selalu kutitipkan rindu ini dalam setiap doa dan sujudku --aku memang bukan manusia yang pandai dalam berdoa, sebaik manusia yang lebih baik dariku-- terlihat 'ramah' terhadap seorang wanita yang cukup ku tahu dia cantik wajah dan peringainya. Sadar aku, lelaki mana yang tak cinta akan dirinya. Aku pun sebagai wanita mengaguminya, aku banyak belajar darinya, bukan untuk menjadi dirinya tapi aku belajar menjadi wanita yang lebih baik setidaknya seperti dirinya. Karena aku pernah dengar, lihat, dan tahu kalau laki-laki yang baik akan mendapatkan wanita yang baik pula, begitupun sebaliknya.
      Seharusnya aku menyadari kalau mawar ini berduri jika kubiarkan tumbuh di hati, tapi itu pilihanku. Kuambil resiko mencintaimu, memilihmu menjadi seseorang yang kudamba membimbingku untuk melangkah di jalan-Nya. Dan duri kini menancap tajam, merobek, memang tak berdarah, hanya membekaskan luka. Tapi aku bersyukur Allah mengizinkan aku merasakan luka ini, merasakan perih ini. Karena dengan itu, sekarang aku mengerti tentang rasa yang sama sekali tak pernah terjamah, tak pernah terlihat karena sebuah pilihan, aku memilih memendam rasa ini tak ingin lagi kamu yang kucinta tahu apa yang ada di hatiku, seperti mereka yang lalu. Aku tak pernah menyalahkanmu akan luka ini, karena kamu memang laki-laki yang baik, hanya aku yang mungkin telah salah mengartikannya.
WEHEHEHEUUU.. MELANKOLIS NIH AH!!
       Tapi aku yakin semua ini adalah takdir dari-Nya. Kujadikan semua ini pembelajaranku mengenal sebuah kehidupan di mana Dia bisa menjadikan hati hamba-Nya mencintai kapanpun, pada siapapun.
     Mengenalmu, banyak memberikan perubahan dalam hidupku, terutama dalam kriteria lelaki yang nantinya menjadi pendamping hidupku. Aku sekarang menanti laki-laki lulusan SMP (Soleh, Mapan, Pintar) untuk menjadi jodohku, pembimbingku kelak, suatu saat nanti. Mungkin saja itu kamu yang kudamba *masih saja berharap*. Kalaupun itu bukan kamu, aku yakin dan percaya siapa pun dia, dia adalah pilihan Allah yang terbaik untukku.
    Karena aku mencintaimu bukan hanya bertujuan untuk memilikimu, aku mencintaimu untuk melihatmu bahagia, bersamaku, bersamanya, ataupun yang lainnya dengan ridho Allah SWT.
AMIIIIIIN....!!! (^_^)

Depok, 21 Februari 2011. 11:05 PM

Thursday, February 10, 2011

Alanda Kariza, Ibu dan Bank Century



Kemarin, 9 Februari saya sedang asik tweeting –kebiasaan saya mengisi waktu senggang saat liburan–, sepintas saya melihat tweet dari teman di Twitter saya Kristiono Setyadi yang bertuliskan
Dear @AlandaKariza, behind every storm, there’s always a beautiful sky. Don’t stop right now. Just hold on a little bit longer.
adalah tweet semangat yang biasanya juga sering ia lakukan ke teman-temannya yang lainnya, karena beliau termasuk pribadi yang cukup care di mata saya. Tapi persepsi “biasa” saya berubah setelah saya melihat tweet selanjutnya yang masih menyebut nama Alanda Kariza dan kali ini ini dalam tweet-nya ia menyelipkan sebaris link, meskipun sudah penasaran saya masih tetap tidak tergerak membaca link yang ia tuliskan di sana. Saya melanjutkan keasikan saya nge-tweet sama teman saya Cindy Rizky Beauty dan Vania Ika Aldida. Di sela-sela tweet saya, lagi-lagi Mas Kris –begitu bisa saya memanggil Kristiono Setyadi–  men-tweet kelanjutan kisah dua tweet yang sebelumnya yang berisikan
RT @: Solidaritas Netizen untuk Alanda Kariza >>>
tweet-nya kali itu benar-benar membuat saya penasaran dan bertanya-tanya “Ada apa sih, ko kayanya ekspos banget sama Alanda Kariza?” dan akhirnya membuat saya membuka link itu dan membacanya. Pada saat saya membuka link itu saya menemukan sebuah copy-an blog dari seorang Alanda Kariza yang berjudul Ibu << untuk teman-teman yang membaca tulisan saya ini, coba untuk dibaca blog tersebut. Berikut saya copy beberapa bagian tulisan dari blognya.
Sejak Ibu bekerja di Century, hidup kami tetap biasa-biasa saja. Jabatan Ibu sebagai Kepala Divisi boleh dibilang tinggi, tapi tidak membuat kami bisa hidup dengan berfoya-foya. Orang-orang di kantor Ibu bisa punya mobil mahal, belanja tas bagus, make up mahal… Tidak dengan Ibu. Mobil keluarga kami hanya satu, itupun tidak mewah. Saya sekolah di SMA negeri dan tidak bisa memilih perguruan tinggi swasta untuk meneruskan pendidikan karena biayanya bergantung pada asuransi pendidikan. Ibu tidak membiarkan saya mendaftarkan diri untuk program beasiswa di luar negeri – beliau khawatir tidak bisa menanggung biaya hidup saya di sana. Papa di-PHK segera setelah kasus Century mencuat ke permukaan. Papa tidak bekerja, hanya Ibu yang menjadi “tulang punggung” di keluarga saya. Papa dan saya sifatnya hanya “membantu”.
Saat itu, berat sekali rasanya, Ibu memiliki titel “tersangka” di suatu kasus. Saya tidak bisa mendeskripsikan perasaan saya ketika itu. Saya duduk di Kelas 3 SMA tatkala status Ibu berubah. Ibu jatuh sakit karena tertekan. Tepat satu hari sebelum Ujian Akhir Nasional, Ibu harus diopname, dan saya baru tahu pukul 10 malam karena keluarga saya khawatir hal ini akan mengganggu konsentrasi saya dalam menjalani ujian. Saya tidak lagi bisa memfokuskan pikiran saya terhadap UAN SMA. Pikiran saya hanya Ibu, Ibu, dan Ibu.
………………………………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………………………
Sampai akhirnya, pada tanggal 25 Januari 2011, sehari sebelum saya ujian Introduction to Financial Accounting, saya harus menerima sesuatu yang, sedikit-banyak, menghancurkan mimpi yang telah saya bangun bertahun-tahun, dalam sekejap.
Hari itu seharusnya menjadi hari yang biasa-biasa saja. Ujian hari itu bisa saya kerjakan dengan baik. Saya pulang cepat dari kampus, tidur siang, bangun dan menonton televisi. Ibu pulang malam. Status BBM salah seorang tante berisi: “Deep sorrow, Arga”. (Nama Ibu adalah Arga Tirta Kirana). Saat itu, untuk sejenak, saya tidak mau tahu apa yang terjadi. Hari itu, Ibu dan Papa pergi ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk mendengar pembacaan tuntutan.

Ibu dituntut kurungan 10 tahun penjara dan denda sebesar 10 milyar Rupiah.

Sesak nafas. Yang terasa cuma airmata yang tidak berhenti.
***
Bagaimana menurut teman-teman setelah membaca blog dari Saudari kita Alanda Kariza?
Saya memang tidak terlalu mengikuti perkembangan kasus Bank Century selama ini, tapi membaca blognya sudah cukup membuat saya mengerti apa yang ia dan keluarganya rasakan saat ini terutama Ibu yang menurut saya tak perlu bertemu pun kita sudah bisa mengira beliau adalah orang yang cukup baik. Saya tidak pernah bisa membayangkan bila hal itu terjadi pada Saya dan Ibu Saya. Lalu bagaimana keadilan di Indonesia ini harus menjawabnya? Apa iya Indonesia untuk sekarang dan selamanya harus melulu memberikan ketidakadilan untuk keluarga kecil seperti keluarga Alanda?
Mari kita terus mendoakan yang keadilan yang terbaik untuk keluarga Alanda Kariza. Sosok remaja yang menurut saya juga termasuk remaja yang berprestasi, remaja yang cukup memberikan sumbangsih kepada negara yang mana malah “mungkin” saat ini memberikan ketidakadilan pada dirinya. Seperti yang juga ia tuliskan dalam blognya
Ini negara yang saya dulu percayai, negara yang katanya berlandaskan hukum. Atas nama Indonesia, saya dulu pergi ke forum internasional Global Changemakers. Atas nama Indonesia, saya mengikuti summer course di Montana. Untuk Indonesia, saya memiliki ide dan mengajak teman-teman menyelenggarakan Indonesian Youth Conference 2010. Indonesia yang sama yang membiarkan ketidakadilan menggerogoti penduduknya. Indonesia yang sama yang membiarkan siapapun mengkambinghitamkan orang lain ketika berbuat kesalahan, selama ada uang. Indonesia yang sama yang menghancurkan mimpi-mimpi saya.
Semangat Alanda Kariza, kamu pasti tahu banyak orang yang menginginkan yang terbaik seperti apa yang kamu harapkan.
BE STRONG ALANDA!